• Apa kabarmu?

    Apa kabarmu hari ini?

    Betapapun buruknya cuaca, tak mungkin hujan selamanya. Mataharimu akan terbit.

  • Perahu kertas

    Perahu kertas

    Biarkan masa depan datang sendiri.

  • Strawberry

    Strawberry

    Nikmatnya kesegaran buah strawberry.

  • Pantai Lombok

    Lombok is my dream

    Bekerja keraslah mengejar impian, tapi mulailah dari rasa syukur.

  • Kapankah Kita?

    Kapankah Giliran Kita?

    Gunakan waktumu sebelum datang matimu.

  • Warna Kehidupan

    Warna-warni Hidup Kita

    Life is choice, do the best forever.

0 komentar









Read more

KUGAPAI MIMPI DI PESANTREN

8 komentar


Jariku menunjuk nama demi nama di papan pengumuman. Aku sangat berharap namaku ada diantara  siswa yang beruntung itu. Jantungku berdegup kencang dan keringat dingin membasahi sela-sela jari. Jari ini bergerak dari satu kertas ke kertas lainnya. Hingga jari ini berhenti dan menunjuk sebuah nama. Ghazi Muhammad Al-Fatih. “Alhamdulillah ya Allah aku diterima” ucapku dengan rasa syukur yang tak terkira. Aku diterima di SMA Internasional yang tersohor di Jakarta dengan jalur beasiswa.
            Angkot yang aku tumpangi tak terasa panas hari ini, keringat ibu-ibu yang pulang dari pasarpun tercium wangi. Aku sudah tak sabar ingin sampai di rumah dan mengabarkan keberhasilanku ini kepada Ibu. Baru kali ini aku dapat membuat mereka bangga. Tentunya dengan beasiswa yang kuterima ini, Ayah tak harus memikirkan beban biaya sekolahku nanti.
***
            “Kenapa tidak boleh Ayah?” kataku dengan mengiba. Aku ingin tahu kenapa Ayah tak mengizinkanku bersekolah di SMA Internasional.
            “Ayah ingin kamu tetap bersekolah di Pondok Pesanten?” ujar Ayah dengan menepuk-nepuk pundakku.
            “Tapi Ayah, aku sudah dapat beasiswa, jadi Ayah tak perlu memikirkan biaya sekolahku lagi” kataku dengan sedikit memaksa.
            “Anakku, dengarkanlah Ayah, meskipun Ayahmu ini kerjanya serabutan, kadang bekerja kadang nganggur tapi Ayah masih mampu membiayaimu sekolah. Ayah akan mencari tambahan pekerjaan agar dapat mencukupi hidupmu di pondok pesantren” ujar ayah meyakinkanku.
            “Dari mana uangnya? Saat ini biaya di pondok pesanten sangat mahal!”
            “Dari Allah!” ujar Ayah sembari meninggalkanku menuju ke samping rumah. Jawaban Ayah tadi membuatku tersentak. Aku terpaku tak hentinya memikirkan ucapan beliau. Aku hanya tak ingin menjadi beban beliau. Kini beliau sudah mulai menua, uban putih sudah memenuhi kepalanya, sepertinya ia sudah tak kuat untuk mencangkul lebih lama lagi. “Ya Allah, luluhkanlah hati Ayahku?” kataku perlahan, tiba-tiba Ibu merangkulku dari belakang dan menciumku sangat lama.
            “Fatih, Ayahmu benar. Allah akan mencukupinya. Turutilah Ayahmu, Nak” kata Ibu dengan suara lembutnya. Akupun hanya membisu, tak tahu harus berkata apa.
            “Fatih, apa kamu mendengar ucapan Ibu?” ujar ibu padaku
            “Iya Bu, Fatih mendengarnya. Baiklah Bu, Fatih akan menuruti perkataan Ayah. Fatih akan meneruskan ke Pondok Pesantren” akupun berlalu meninggalkan Ibu seorang diri.
            “Ya Allah, semoga melepas beasiswa di SMA Internasional merupakan keputusan yang benar, dan semoga aku tak menyesalinya kelak…”.
***
            Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pondok pesanten ini. Aku kebingungan, mata ini tak henti-hentinya memandangi tembok-tembok tinggi di pesantren. Tembok itu terasa sangat dingin padaku. Semakin kupandang semakin membuatku merasa kecil dan asing. “Ya..Allah, mudahkan aku dalam menuntut ilmu” bisikku sembari mencari tempat istirahat.
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di masjid ”kataku sambil membuka sepatu. Kemudian terlihat seseorang laki-laki berjenggot mendekatiku.
“Akhi, antum santri baru ya? Namanya siapa?” katanya sambil mengulurkan tangan padaku.
“Oh..iya mas. Saya Ghazi Muhammad Al-Fatih mas, panggil aja Fatih”
“Aku Irsyad. Satu tahun diatasmu. Semoga nanti betah di pesantren”
“Iya mas, amin. Permisi mas, mau ambil wudhu dulu”
“Oh…iya silahkan”
Akupun bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat ashar berjamaah. Seusai sholat tak lupa aku memanjatkan doa untuk kedua orang tuaku. Entah kenapa baru sehari saja meninggalkan rumah aku sudah ingin segera kembali. Saat itu aku teringat pesan Ayah ketika aku hendak berangkat ke Pesantren.”Fatih, jaga dirimu baik-baik di pesantren. Hafalkan Al-Quran. Nak. Ayah ingin melihat kamu menjadi orang yang berilmu dan mulia. Kemudian terbayang pula wajah teduh Ibu yang sangat menyayangiku.”Anakku,Ibu mencintaimu karena Allah” .
***
Setelah satu bulan di pondok pesantren…
            Awal hidup di pesantren memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas dari bangun pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di dinding kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang siap meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah itu kami harus menghafalkan Al-Quran sembari menunggu adzan subuh tiba
“Sudah hafal berapa juz dik?” kata mas Rasyid padaku.
“Waduh mas, masih sedikit. Masih tiga juz mas” kataku nyengir.
 “Alhamdulillah, terus semangat! Allah menyukai orang-orang yang dekat dengan Al-Quran. Tapi Dek, sudah coba menguji hafalmu kan?” ujar mas Rasyid menambahi perkataanya.
“Sudah mas, sudah saya setor ke Ustadz. Beres lahh…”
“Hahaha, kamu lucu sekali. Bukan itu maksudnya Fatih! Begini, maksud kakak, cobalah kamu gunakan hafalanmu ketika shalat sunnah. Perpanjanglah bacaan dengan surat-surat yang sudah kamu hafal” ujar mas Rasyid sembari meninggalkanku.
“Oo begitu…baikklah mas, akan Fatih coba. Sukran Mas!” teriakku pada mas Rasyid yang telah berlalu.
Akupun mencoba saran dari Mas Rasyid untuk menggunakan hafalan dalam shalat sunnahku. Subhanallah, ternyata yang tadinya hafal menjadi terbata-bata ketika digunakan saat shalat.
***
“Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu lewat telepon.
“Alhamdulillah nak, semua sehat. Fatih, maaf bulan ini kami tidak bisa mengirimi uang yang cukup buatmu. Sementara pakai itu dulu ya nak. Insya Allah jika ada rezeki lagi akan Ibu kirim uangnya” ujar Ibu.
“Iya Bu, tidak apa-apa. Insya Allah ini cukup Bu” kataku pada Ibu agar ia tak terlalu mecemaskanku.
“Bagaimana hafalanmu Nak? Sudah dapat berapa juz?”
“Sudah lima juz Bu”
“Semoga Allah memudahkanmu dalam menuntut ilmu. Ibu dan Ayah hanya dapat mendoakanmu dari jauh. Tadi ayahmu titip pesan Nak, meskipun dalam kesempitan jalan lupa bershodaqoh. Ya sudah, ibu tutup dulu teleponnya. Wassalamualaikum..”
Waalaikumsalam...”
            Rasa rindu kepada orang tua sedikit terobati dengan telepon tadi. Setelah enam bulan lebih aku dipondok, ini bukan pertama kalinya mereka tidak bisa mengirim uang yang cukup untukku. Beberapa kali aku harus bersabar karena tidak ada uang sepeserpun di kantong. Aku pegang sisa-sisa uang yang kupunyai. Agar tak terlupa, uang untuk shadaqoh segaja aku sisihkan dari dompetku. Ayah mengajarkanku sejak kecil bahwa ada hak-hak orang lain di dalam uang yang kita miliki. “Aku lelah sekali! “kataku sembari merebahkan badanku ke dipan dan berharap agar segera bisa tertidur.
            Malampun berganti, kokok ayam jantan mulai terdengar satu per satu. Suara kicauan burung pipit juga ikut meramaikan sunyinya subuh pagi ini. Sebelum suara adzan berkumandang, segera aku selesaikan makan sahurku. “Ya Allah, aku berniat berpuasa daud. Kuatkanlah tubuhku hinga sore hari. Amin. Saat uang menipis, biasanya aku menjadi sangat rajin untuk berpuasa. Semoga itu tak mengurangi ensensi puasa” gumamku dalam hati.
            Dengan semangat berjuang untuk mencari Ilmu Agama kulangkahkan kaki menuju gedung madrasah. Pagi ini sinar matahari nampak cerah. Kulihat ribuan santri berduyun-duyun menuju kelas. Namun langkahku terhenti ketika tepat berada di depan papan pengumuman. Dalam pengumuman itu tertera bahwa lusa akan diadakan seleksi pertukaran pelajar ke Mesir. “Aku harus ikut!” kataku sambil menulis persyaratan-persyaratan yang harus aku lengkapi. Saat itu pula aku segera berlari ke kantor untuk meminjam telepon. Aku akan meminta izin dan mohon doa pada kedua orang tuaku.
***
            “Fatih, bagaimana hasilnya?” tanya Ayah padaku.”
            “Aku lolos. Ayah, aku tidak menyangka akan terpilih”
            “Alhamdulillah ya Allah.Selamat ya Fatih. Anakku, yang perlu kamu ingat Nak, kamu lolos itu karena Allah, bukan karena kepandaian dan kemampuanmu” ujar Ayah padaku.
“Iya, Fatih mengerti”
 “Oh iya Nak, Ibumu seminggu ini tak henti-hentinya mendoakanmu. Ia selalu bangun untuk shalat tahajud.
“Sampaikan terimaksih Fatih pada Ibu” kataku pelan sambil berusaha menahan air mata.
“Fatih, mengapa suaramu terdengar tak bersemangat. Apa ada yang kamu pikirkan nak?” tanya Ayah kepadaku.
“Ayah, ada biaya administrasi yang harus dipenuhi. Sepertinya aku tak usah berangkat saja ke Mesir. Biayanya mahal…”
“Berapa nak?”
“12 juta”
“Berangkat saja! Sudah nak, kamu ga usah mikirin biaya. Biar Ayah saja yang urus. Karena Allah telah memberimu kesempatan untuk mencari ilmu di Mesir, tentunya Allah pula yang akan membiayai dan mencukupi pendidikanmu disana. Yakini itu Nak, janji Allah itu pasti!” kata Ayah meyakinkanku. Hatiku bergetar tiada henti. Sungguh aku dapat merasakan kenikmatan dari ucapan Ayahku, ucapannya begitu teduh dan penuh dengan keyakinan pada Allah.
 “Terimakasih Ayah…”
***
Saat ini aku berada dalam pesawat terbang menuju Mesir. Hatiku sangat bahagia. Aku bahagia karena orang tuaku  memiliki rasa cinta pada Allah yang begitu besar. Benar kata Ayah. Allah akan mencukupinya. Subhanallah, semua biayaku ke Mesir bukan berasal dari kantong Ayahku, namun dari beberapa teman Ayah dan ustadz-ustadz di daerahku yang menginfaqkan hartanya untuk memudahkan orang yang menuntut ilmu agama. Ternyata, percaya pada Allah itu lebih dari cukup. Percayalah pada Allah maka keajaiban-keajaiban akan terjadi pada  kehidupanmu ….”Allahu Akbar…!!”

-------------Bersambung---------------


Read more

KUGADAIKAN MIMPI UNTUK MERAIH CINTAMU

0 komentar

“Jam berapa sekarang?” kataku berbisik pelan.
“Huhh, dari tadi tanya jam melulu. Tau ahh!”
“ Ayolah…kurang berapa menit lagi?” kataku merengek pada teman sebangku.
“Sssstttt, mengganggu saja! Tuuh, lebih baik dengerin penjelasannya Pak Mulyadi!”
“ Masih lama kah?”
“Bentar lagi koq. Sabarlah dikit, sepuluh menit lagi Non!
“Oke, thank you!!” Aku sudah tak sabar menunggu bel istirahat berbunyi. Kepalaku terasa sangat berat, angin semilir menambah rasa kantukku semakin sulit dihentikan. Ditambah pula cacing-cacing diperutku seakan bernyanyi riang gembira. Cacing itu menendang dan menginjak dinding-dinding perut hingga aku tak kuasa untuk menahan rasa lapar ini. Penjelasan Pak Mulyadi guru kimiaku, hanya hinggap sebentar saja di otakku. Rumus-rumus kimia itu seakan berterbangan kian kemari dan akhirnya pergi meninggalkanku. “Fiuuhhh…laparnya!!” pikiranku melayang, membayangkan nikmatnya sepiring nasi hangat dengan lauk tempe penyet yang ditaburi bawang goreng. Baunya sangat menggoda. “Krucuk… krucuk…krucuk” perutku berbunyi tiada henti.

****
Teet…Tettt…Teettt..
“Yee…akhirnya!” segera kurapikan buku pelajaran dan rambut panjangku sembari beranjak pergi dari kelas, kemudian seorang sahabat menyapaku.
“Nabila, temenin aku sholat dhuha yuk?” kata Aisyah sambil memegang tanganku.
“Waduh, hehehe…besok-besok aja yach. Aku laper banget nich. Sudah tak tahan pengen makan” kataku sambil memegangi perut.
“Ya ampun Billa, sebentar aja koq! Kapan sich kamu mau tak ajakin sholat dhuha?  Padahal kan aku udah jelasin panjang lebar tentang hikmah sholat dhuha. Tapi koq ga ngaruh sich di pikiranmu?” ujar Aisyah sambil memonyongkan bibirnya.
“Hiihh, maksa banget sich Non, istirahat tuh cuma lima belas menit Aisyah, cuma cukup buat antri dan makan dikantin. Lebih baik aku makan dikantin dulu, ntar dech kalau habis makan tak pikir-pikir ajakanmu tadi. Hemm..”
Ya Allah, kamu itu yahh. Ya sudah ke kantin sana” ujar Aisyah sambil berlalu meninggalkanku menuju masjid sekolah.
Akupun berlalu meninggalkan Aisyah. Sahabatku itu tak pernah bosan mengajakku untuk sholat dhuha. Meskipun sudah tiga bulan lebih aku tak memenuhi ajakannya, ia tak pernah marah padaku. Malah sebaliknya ia semakin mendekat padaku. Fiuuh…dalam hati aku berjanji, “Aisyah…jangan kau menyerah padaku, teruslah mengajakku. Aku berjanji esok aku akan memenuhi ajakanmu untuk sholat dhuha”
***
“Wah, sejuk sekali tempat ini, beruntung aku bisa sekolah disini. Udah sekolahnya luas, sejuk, banyak pohon mangganya pula. Hmm…dan yang paling penting ntar bisa tour ke Lombok. Yuhuii! Lombok…Iam camming!!” aku tak sabar ingin pergi ke Lombok, pulau yang tekenal dengan julukan seribu masjidnya. Satu-satunya tempat yang menjadi mimpiku sejak kecil. Aku ingin menyaksikan dengan kedua mataku keindahan Gunung Rinjani, Danau Segare Anak, Pantai Senggigi, Pantai Mawun, Bukit Malimbu dan tentunya kelezatan ayam taliwang. Hemmm…yeee…!!
“Nabilla…Nabila..!” teriak Aisyah keras sembari berlari menuju ke arahku. “Ya Allah syukurlah, kamu masih disini. Duh..bisa tolongin aku? Aku ketinggalan bus terakhir, gimana nich, ga bisa pulang!! fiuhhh…”
“Ya udah, aku anterin aja kalau gitu”
“Yupps, oke!”
Akupun berjalan bersama Aisyah menuju parkiran motor, ketika berada di depan masjid sekolah tiba-tiba terdengar lantunan suara adzan sholat Ashar yang begitu merdu. Akupun menghentikan langkahku, rasanya lama sekali aku tak mendengarkan adzan dengan seksama. Rasa damai mulai mengelayuti seluruh tubuhku.
“Nabila, gak apa-apa kan kalau aku sholat dulu? Kamu tak keberatan menungguku untuk beberapa saat?” ujar Aisyah dengan suara lembutnya.
“Heem ga masalah, aku tunggu di serambi saja” kataku sambil menata getaran hati yang tiba-tiba muncul begitu cepat. Sesaat aku teringat masa kecilku. Ketika aku mulai belajar membaca huruf hijaiyah, dan belajar menghafalkan doa-doa. Namun kini aku telah menjauh, jauh meninggalkan-Nya.“Ya Allah, ampunilah aku. Tunjukkanlah jalan agar aku bisa kembali pada-Mu?” lamunankupun terpecah setelah Aisyah menepuk pundakku. Lalu aku kembali berfikir ”Ya Allah, apakah Aisyah adalah jawaban dari semua kegundahan ini?”
***
“Aisyah, ee…ee…ee…aku…aku ikut sholat dhuha boleh?” kataku dengan rasa takut yang membuncah serta tak sabar menunggu jawaban dari Asiyah.
“Alhamdulillah” ujar Aisyah sembari merangkul tubuhku erat sekali. Rasanya seperti ia tak mau melepaskanku, kulihat pula bening-bening kristal membasahi pipi sahabatku itu. “Aisyah, aku sudah tak sabar ingin merasakan nikmatnya berwudhu dan sholat” kataku berbisik ditelinganya.
Hari ini pertama kalinya aku akan mendirikan sholat. Perlahan aku kenakan mukenaku. Jantung ini berdetak semakin kencang. Rasa gugup untuk menghadap Allah membuat tubuhku gemetar. Beberapa kali kuhirup udara untuk membuatku tenang. Ya Allah, terimalah sholat hamba-Mu ini. Lalu perlahan kuucapkan takbir  “Allahu Akbar!!”
***
Seusai sholat kedua sahabat itu berbincang di serambi masjid….
“Bagaimana?”
“Bagaimana apanya? Sholatku tadi?”
“Bukan. Tentang tour sekolah kita ke Lombok? Bukankah itu mimpimu selama ini? Aku ingin mendegarkannya?” ujar Aisyah dengan wajah berbinar-binar serta tatapan  penasaran terhadap mimpiku.
“Apa benar kamu ingin mendengar mimpiku, Aisyah?”
“ He’em” jawab Aisyah dengan anggukan kepala.
“Hehehe, satu-satunya tempat yang selalu ingin aku kunjungi ialah Lombok. Lombok is my dream. Dengan memejamkan mata, aku ingin sekali mencium wanginya udara Lombok dari atas Bukit Malimbu. Menyaksikan eksotisnya Danau Segare Anak diantara lereng Gunung Rinjani, lalu aku berlarian ditepi Pantai Senggigi yang panoramanya begitu memukau. Sungguh Pantai Senggigi diciptakan Allah begitu sempurna dipandanganku. Oh..seberapa biru ya airnya? Aku juga ingin sekali merasakan sapaan hangat dari ombak-ombak kecil yang berkejar-kejaran membasahi kakiku. Hmm, aku ingin melihatnya!! Oh..iya ada satu lagi yang unik, apa kamu pernah mendengar tradisi Suku Sasak yang menculik gadis yang ingin dinikahi?”
“Hah? Benarkah? Oh…seram sekali itu” ujar Aisyah sambil mengerutkan dahinya.
“Heem, nantinya aku akan berbincang banyak dengan orang Suku Sasak. Aku ingin membuat tulisan tentang tradisi menculik gadis. Hehehe…”
“Yupp, mendengar ceritamu aku jadi tak sabar lagi ingin segera berangkat ke Lombok!!” kata Aisyah dengan wajah ceria. “Ayo, segera ke kelas! Bu Amar sudah terlihat di lorong tuh”
“Oke!!”
***
Saat  Pelajaran Agama Berlangsung…
“Ibu Guru, apakah seorang muslimah wajib memakai jilbab, dan menutup auratnya?”  tanyaku pada Bu Amar, guru agamaku.
“Tentulah anakku, seorang wanita islam wajib mengenakan jilbab, dalam Qs. Al-Ahzab ayat 59 disebutkan: Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin. Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Sudah paham Nabilla?”
“Iya Bu, Insya Allah paham”
“Apa kamu berkeinginan memakai jilbab Nak?”
“Iya Bu, setelah mendengarkan penjelasan dari Ibu tadi, saya baru sadar bahwa agama Islam sangat memuliakan wanita. Saya ingin sekali mengenakan jilbab, Bu!!”
Alhamdulillah. Iya nak segeralah, bersungguh-sungguhlah dalam mencari ridho Allah, dahulukan urusan akhirat Insya Allah urusan dunia nantinya akan dimudahkan”
***
Aku tak bisa tidur. Entah kenapa hatiku bertambah gusar dan tak tenang. Tausiyah dari guru agamaku tadi siang tak bisa hilang dari pikiranku, makin lama ia makin melekat dalam hati. Apalagi ucapan terakhirnya agar aku menyegerakan memakai jilbab. “Haduh, aku semakin tak bisa tidur, hiks…hiks…hiks”
Kupandangi koper yang akan kubawa ke Lombok, kemudian mataku beralih pada uang Rp.600.000,00 yang ada di meja. Uang itu rencananya akan kugunakan untuk membayar biaya tour ke Lombok. Secara perlahan tanganku meraih uang itu. Tentunya, aku akan butuh uang banyak jika aku memakai jilbab, mulai membeli kain seragam, kemudian membayar ongkos jahit dan membeli beberapa jilbab. Fiuuh…butuh waktu berapa bulan aku harus menabungnya? Akupun berfikir sejenak sambil memandangi uang itu. Lalu tiba-tiba terbesit dipikiranku,”Kamu gunakan saja uang itu untuk membeli seragam dan jilbab, tak usah ikut  tour ke Lombok!!
Seketika aku diam sesaat. Hatiku bergetar dan gundah. Sepertinya lintasan hati tadi benar adanya. “Apakah lintasan itu berasal dari hati nurani?” tanyaku pada diriku sendiri. Sepertinya aku berada dalam dua pilihan yang sangat sulit. Selangkah lagi aku telah menemukan mimpiku, namun dengan kata lain aku akan mengabaikan perintah untuk berhijab. “Ya Allah, mana yang harus aku pilih? Oh…My God!!”
Akupun terdiam sambil memandangi poster Pantai Senggigi yang menempel di dinding kamarku. Hatikupun berbisik, “Ya Allah dengarkanlah doaku ini: Ya Allah, aku rela menggadaikan mimpiku ke Lombok untuk memenuhi perintah-Mu berjilbab. Maka mudahkanlah urusanku. Semoga suatu hari nanti engkau akan menghadiahkan tempat yang lebih baik dari Lombok.  Amin….”

………………Bersambung…………


Read more