KUGAPAI MIMPI DI PESANTREN

8 komentar


Jariku menunjuk nama demi nama di papan pengumuman. Aku sangat berharap namaku ada diantara  siswa yang beruntung itu. Jantungku berdegup kencang dan keringat dingin membasahi sela-sela jari. Jari ini bergerak dari satu kertas ke kertas lainnya. Hingga jari ini berhenti dan menunjuk sebuah nama. Ghazi Muhammad Al-Fatih. “Alhamdulillah ya Allah aku diterima” ucapku dengan rasa syukur yang tak terkira. Aku diterima di SMA Internasional yang tersohor di Jakarta dengan jalur beasiswa.
            Angkot yang aku tumpangi tak terasa panas hari ini, keringat ibu-ibu yang pulang dari pasarpun tercium wangi. Aku sudah tak sabar ingin sampai di rumah dan mengabarkan keberhasilanku ini kepada Ibu. Baru kali ini aku dapat membuat mereka bangga. Tentunya dengan beasiswa yang kuterima ini, Ayah tak harus memikirkan beban biaya sekolahku nanti.
***
            “Kenapa tidak boleh Ayah?” kataku dengan mengiba. Aku ingin tahu kenapa Ayah tak mengizinkanku bersekolah di SMA Internasional.
            “Ayah ingin kamu tetap bersekolah di Pondok Pesanten?” ujar Ayah dengan menepuk-nepuk pundakku.
            “Tapi Ayah, aku sudah dapat beasiswa, jadi Ayah tak perlu memikirkan biaya sekolahku lagi” kataku dengan sedikit memaksa.
            “Anakku, dengarkanlah Ayah, meskipun Ayahmu ini kerjanya serabutan, kadang bekerja kadang nganggur tapi Ayah masih mampu membiayaimu sekolah. Ayah akan mencari tambahan pekerjaan agar dapat mencukupi hidupmu di pondok pesantren” ujar ayah meyakinkanku.
            “Dari mana uangnya? Saat ini biaya di pondok pesanten sangat mahal!”
            “Dari Allah!” ujar Ayah sembari meninggalkanku menuju ke samping rumah. Jawaban Ayah tadi membuatku tersentak. Aku terpaku tak hentinya memikirkan ucapan beliau. Aku hanya tak ingin menjadi beban beliau. Kini beliau sudah mulai menua, uban putih sudah memenuhi kepalanya, sepertinya ia sudah tak kuat untuk mencangkul lebih lama lagi. “Ya Allah, luluhkanlah hati Ayahku?” kataku perlahan, tiba-tiba Ibu merangkulku dari belakang dan menciumku sangat lama.
            “Fatih, Ayahmu benar. Allah akan mencukupinya. Turutilah Ayahmu, Nak” kata Ibu dengan suara lembutnya. Akupun hanya membisu, tak tahu harus berkata apa.
            “Fatih, apa kamu mendengar ucapan Ibu?” ujar ibu padaku
            “Iya Bu, Fatih mendengarnya. Baiklah Bu, Fatih akan menuruti perkataan Ayah. Fatih akan meneruskan ke Pondok Pesantren” akupun berlalu meninggalkan Ibu seorang diri.
            “Ya Allah, semoga melepas beasiswa di SMA Internasional merupakan keputusan yang benar, dan semoga aku tak menyesalinya kelak…”.
***
            Hari ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pondok pesanten ini. Aku kebingungan, mata ini tak henti-hentinya memandangi tembok-tembok tinggi di pesantren. Tembok itu terasa sangat dingin padaku. Semakin kupandang semakin membuatku merasa kecil dan asing. “Ya..Allah, mudahkan aku dalam menuntut ilmu” bisikku sembari mencari tempat istirahat.
Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di masjid ”kataku sambil membuka sepatu. Kemudian terlihat seseorang laki-laki berjenggot mendekatiku.
“Akhi, antum santri baru ya? Namanya siapa?” katanya sambil mengulurkan tangan padaku.
“Oh..iya mas. Saya Ghazi Muhammad Al-Fatih mas, panggil aja Fatih”
“Aku Irsyad. Satu tahun diatasmu. Semoga nanti betah di pesantren”
“Iya mas, amin. Permisi mas, mau ambil wudhu dulu”
“Oh…iya silahkan”
Akupun bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat ashar berjamaah. Seusai sholat tak lupa aku memanjatkan doa untuk kedua orang tuaku. Entah kenapa baru sehari saja meninggalkan rumah aku sudah ingin segera kembali. Saat itu aku teringat pesan Ayah ketika aku hendak berangkat ke Pesantren.”Fatih, jaga dirimu baik-baik di pesantren. Hafalkan Al-Quran. Nak. Ayah ingin melihat kamu menjadi orang yang berilmu dan mulia. Kemudian terbayang pula wajah teduh Ibu yang sangat menyayangiku.”Anakku,Ibu mencintaimu karena Allah” .
***
Setelah satu bulan di pondok pesantren…
            Awal hidup di pesantren memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas dari bangun pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di dinding kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang siap meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah itu kami harus menghafalkan Al-Quran sembari menunggu adzan subuh tiba
“Sudah hafal berapa juz dik?” kata mas Rasyid padaku.
“Waduh mas, masih sedikit. Masih tiga juz mas” kataku nyengir.
 “Alhamdulillah, terus semangat! Allah menyukai orang-orang yang dekat dengan Al-Quran. Tapi Dek, sudah coba menguji hafalmu kan?” ujar mas Rasyid menambahi perkataanya.
“Sudah mas, sudah saya setor ke Ustadz. Beres lahh…”
“Hahaha, kamu lucu sekali. Bukan itu maksudnya Fatih! Begini, maksud kakak, cobalah kamu gunakan hafalanmu ketika shalat sunnah. Perpanjanglah bacaan dengan surat-surat yang sudah kamu hafal” ujar mas Rasyid sembari meninggalkanku.
“Oo begitu…baikklah mas, akan Fatih coba. Sukran Mas!” teriakku pada mas Rasyid yang telah berlalu.
Akupun mencoba saran dari Mas Rasyid untuk menggunakan hafalan dalam shalat sunnahku. Subhanallah, ternyata yang tadinya hafal menjadi terbata-bata ketika digunakan saat shalat.
***
“Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu lewat telepon.
“Alhamdulillah nak, semua sehat. Fatih, maaf bulan ini kami tidak bisa mengirimi uang yang cukup buatmu. Sementara pakai itu dulu ya nak. Insya Allah jika ada rezeki lagi akan Ibu kirim uangnya” ujar Ibu.
“Iya Bu, tidak apa-apa. Insya Allah ini cukup Bu” kataku pada Ibu agar ia tak terlalu mecemaskanku.
“Bagaimana hafalanmu Nak? Sudah dapat berapa juz?”
“Sudah lima juz Bu”
“Semoga Allah memudahkanmu dalam menuntut ilmu. Ibu dan Ayah hanya dapat mendoakanmu dari jauh. Tadi ayahmu titip pesan Nak, meskipun dalam kesempitan jalan lupa bershodaqoh. Ya sudah, ibu tutup dulu teleponnya. Wassalamualaikum..”
Waalaikumsalam...”
            Rasa rindu kepada orang tua sedikit terobati dengan telepon tadi. Setelah enam bulan lebih aku dipondok, ini bukan pertama kalinya mereka tidak bisa mengirim uang yang cukup untukku. Beberapa kali aku harus bersabar karena tidak ada uang sepeserpun di kantong. Aku pegang sisa-sisa uang yang kupunyai. Agar tak terlupa, uang untuk shadaqoh segaja aku sisihkan dari dompetku. Ayah mengajarkanku sejak kecil bahwa ada hak-hak orang lain di dalam uang yang kita miliki. “Aku lelah sekali! “kataku sembari merebahkan badanku ke dipan dan berharap agar segera bisa tertidur.
            Malampun berganti, kokok ayam jantan mulai terdengar satu per satu. Suara kicauan burung pipit juga ikut meramaikan sunyinya subuh pagi ini. Sebelum suara adzan berkumandang, segera aku selesaikan makan sahurku. “Ya Allah, aku berniat berpuasa daud. Kuatkanlah tubuhku hinga sore hari. Amin. Saat uang menipis, biasanya aku menjadi sangat rajin untuk berpuasa. Semoga itu tak mengurangi ensensi puasa” gumamku dalam hati.
            Dengan semangat berjuang untuk mencari Ilmu Agama kulangkahkan kaki menuju gedung madrasah. Pagi ini sinar matahari nampak cerah. Kulihat ribuan santri berduyun-duyun menuju kelas. Namun langkahku terhenti ketika tepat berada di depan papan pengumuman. Dalam pengumuman itu tertera bahwa lusa akan diadakan seleksi pertukaran pelajar ke Mesir. “Aku harus ikut!” kataku sambil menulis persyaratan-persyaratan yang harus aku lengkapi. Saat itu pula aku segera berlari ke kantor untuk meminjam telepon. Aku akan meminta izin dan mohon doa pada kedua orang tuaku.
***
            “Fatih, bagaimana hasilnya?” tanya Ayah padaku.”
            “Aku lolos. Ayah, aku tidak menyangka akan terpilih”
            “Alhamdulillah ya Allah.Selamat ya Fatih. Anakku, yang perlu kamu ingat Nak, kamu lolos itu karena Allah, bukan karena kepandaian dan kemampuanmu” ujar Ayah padaku.
“Iya, Fatih mengerti”
 “Oh iya Nak, Ibumu seminggu ini tak henti-hentinya mendoakanmu. Ia selalu bangun untuk shalat tahajud.
“Sampaikan terimaksih Fatih pada Ibu” kataku pelan sambil berusaha menahan air mata.
“Fatih, mengapa suaramu terdengar tak bersemangat. Apa ada yang kamu pikirkan nak?” tanya Ayah kepadaku.
“Ayah, ada biaya administrasi yang harus dipenuhi. Sepertinya aku tak usah berangkat saja ke Mesir. Biayanya mahal…”
“Berapa nak?”
“12 juta”
“Berangkat saja! Sudah nak, kamu ga usah mikirin biaya. Biar Ayah saja yang urus. Karena Allah telah memberimu kesempatan untuk mencari ilmu di Mesir, tentunya Allah pula yang akan membiayai dan mencukupi pendidikanmu disana. Yakini itu Nak, janji Allah itu pasti!” kata Ayah meyakinkanku. Hatiku bergetar tiada henti. Sungguh aku dapat merasakan kenikmatan dari ucapan Ayahku, ucapannya begitu teduh dan penuh dengan keyakinan pada Allah.
 “Terimakasih Ayah…”
***
Saat ini aku berada dalam pesawat terbang menuju Mesir. Hatiku sangat bahagia. Aku bahagia karena orang tuaku  memiliki rasa cinta pada Allah yang begitu besar. Benar kata Ayah. Allah akan mencukupinya. Subhanallah, semua biayaku ke Mesir bukan berasal dari kantong Ayahku, namun dari beberapa teman Ayah dan ustadz-ustadz di daerahku yang menginfaqkan hartanya untuk memudahkan orang yang menuntut ilmu agama. Ternyata, percaya pada Allah itu lebih dari cukup. Percayalah pada Allah maka keajaiban-keajaiban akan terjadi pada  kehidupanmu ….”Allahu Akbar…!!”

-------------Bersambung---------------


8 komentar: