Jariku menunjuk nama demi nama di papan
pengumuman. Aku sangat berharap namaku ada diantara siswa yang beruntung itu. Jantungku berdegup
kencang dan keringat dingin membasahi sela-sela jari. Jari ini bergerak dari
satu kertas ke kertas lainnya. Hingga jari ini berhenti dan menunjuk sebuah nama.
Ghazi Muhammad Al-Fatih. “Alhamdulillah ya
Allah aku diterima” ucapku dengan rasa syukur yang tak terkira. Aku
diterima di SMA Internasional yang tersohor di Jakarta dengan jalur beasiswa.
Angkot
yang aku tumpangi tak terasa panas hari ini, keringat ibu-ibu yang pulang dari
pasarpun tercium wangi. Aku sudah tak sabar ingin sampai di rumah dan
mengabarkan keberhasilanku ini kepada Ibu. Baru kali ini aku dapat membuat
mereka bangga. Tentunya dengan beasiswa yang kuterima ini, Ayah tak harus
memikirkan beban biaya sekolahku nanti.
***
“Kenapa
tidak boleh Ayah?” kataku dengan mengiba. Aku ingin tahu kenapa Ayah tak
mengizinkanku bersekolah di SMA Internasional.
“Ayah
ingin kamu tetap bersekolah di Pondok Pesanten?” ujar Ayah dengan menepuk-nepuk
pundakku.
“Tapi
Ayah, aku sudah dapat beasiswa, jadi Ayah tak perlu memikirkan biaya sekolahku
lagi” kataku dengan sedikit memaksa.
“Anakku,
dengarkanlah Ayah, meskipun Ayahmu ini kerjanya serabutan, kadang bekerja
kadang nganggur tapi Ayah masih mampu membiayaimu sekolah. Ayah akan mencari
tambahan pekerjaan agar dapat mencukupi hidupmu di pondok pesantren” ujar ayah
meyakinkanku.
“Dari
mana uangnya? Saat ini biaya di pondok pesanten sangat mahal!”
“Dari
Allah!” ujar Ayah sembari meninggalkanku menuju ke samping rumah. Jawaban Ayah
tadi membuatku tersentak. Aku terpaku tak hentinya memikirkan ucapan beliau.
Aku hanya tak ingin menjadi beban beliau. Kini beliau sudah mulai menua, uban
putih sudah memenuhi kepalanya, sepertinya ia sudah tak kuat untuk mencangkul
lebih lama lagi. “Ya Allah, luluhkanlah
hati Ayahku?” kataku perlahan, tiba-tiba Ibu merangkulku dari belakang dan
menciumku sangat lama.
“Fatih,
Ayahmu benar. Allah akan mencukupinya. Turutilah Ayahmu, Nak” kata Ibu dengan
suara lembutnya. Akupun hanya membisu, tak tahu harus berkata apa.
“Fatih,
apa kamu mendengar ucapan Ibu?” ujar ibu padaku
“Iya
Bu, Fatih mendengarnya. Baiklah Bu, Fatih akan menuruti perkataan Ayah. Fatih
akan meneruskan ke Pondok Pesantren” akupun berlalu meninggalkan Ibu seorang
diri.
“Ya
Allah, semoga melepas beasiswa di SMA Internasional merupakan keputusan yang
benar, dan semoga aku tak menyesalinya kelak…”.
***
Hari
ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pondok pesanten ini. Aku kebingungan,
mata ini tak henti-hentinya memandangi tembok-tembok tinggi di pesantren.
Tembok itu terasa sangat dingin padaku. Semakin kupandang semakin membuatku
merasa kecil dan asing. “Ya..Allah,
mudahkan aku dalam menuntut ilmu” bisikku sembari mencari tempat istirahat.
“Alhamdulillah, akhirnya sampai juga di masjid ”kataku sambil membuka
sepatu. Kemudian terlihat seseorang laki-laki berjenggot mendekatiku.
“Akhi, antum santri
baru ya? Namanya siapa?” katanya sambil mengulurkan tangan padaku.
“Oh..iya mas. Saya
Ghazi Muhammad Al-Fatih mas, panggil aja Fatih”
“Aku Irsyad. Satu tahun
diatasmu. Semoga nanti betah di pesantren”
“Iya mas, amin. Permisi
mas, mau ambil wudhu dulu”
“Oh…iya silahkan”
Akupun bergegas
mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat ashar berjamaah. Seusai sholat tak
lupa aku memanjatkan doa untuk kedua orang tuaku. Entah kenapa baru sehari saja
meninggalkan rumah aku sudah ingin segera kembali. Saat itu aku teringat pesan
Ayah ketika aku hendak berangkat ke Pesantren.”Fatih, jaga dirimu baik-baik di pesantren. Hafalkan Al-Quran. Nak. Ayah
ingin melihat kamu menjadi orang yang berilmu dan mulia. Kemudian terbayang
pula wajah teduh Ibu yang sangat menyayangiku.”Anakku,Ibu mencintaimu karena Allah” .
***
Setelah
satu bulan di pondok pesantren…
Awal
hidup di pesantren memang tak semudah yang aku bayangkan. Aktivitas dari bangun
pagi hingga kembali tidur sudah diatur di selembar kertas yang ditempel di dinding
kamar masing-masing. Ketika jam tiga pagi, sudah ada pendamping yang siap
meneriaki kami untuk segera bangun untuk melaksanakan shalat tahajud. Setelah
itu kami harus menghafalkan Al-Quran sembari menunggu adzan subuh tiba
“Sudah hafal berapa juz
dik?” kata mas Rasyid padaku.
“Waduh mas, masih
sedikit. Masih tiga juz mas” kataku nyengir.
“Alhamdulillah,
terus semangat! Allah menyukai orang-orang yang dekat dengan Al-Quran. Tapi
Dek, sudah coba menguji hafalmu kan?” ujar mas Rasyid menambahi perkataanya.
“Sudah mas, sudah saya
setor ke Ustadz. Beres lahh…”
“Hahaha, kamu lucu
sekali. Bukan itu maksudnya Fatih! Begini, maksud kakak, cobalah kamu gunakan
hafalanmu ketika shalat sunnah. Perpanjanglah bacaan dengan surat-surat yang
sudah kamu hafal” ujar mas Rasyid sembari meninggalkanku.
“Oo begitu…baikklah
mas, akan Fatih coba. Sukran Mas!” teriakku pada mas Rasyid yang telah berlalu.
Akupun mencoba saran
dari Mas Rasyid untuk menggunakan hafalan dalam shalat sunnahku. Subhanallah, ternyata yang tadinya hafal
menjadi terbata-bata ketika digunakan saat shalat.
***
“Ayah sehat Bu?” tanyaku kepada Ibu
lewat telepon.
“Alhamdulillah nak,
semua sehat. Fatih, maaf bulan ini kami tidak bisa mengirimi uang yang cukup
buatmu. Sementara pakai itu dulu ya nak. Insya Allah jika ada rezeki lagi akan
Ibu kirim uangnya” ujar Ibu.
“Iya Bu, tidak apa-apa.
Insya Allah ini cukup Bu” kataku pada Ibu agar ia tak terlalu mecemaskanku.
“Bagaimana hafalanmu Nak?
Sudah dapat berapa juz?”
“Sudah lima juz Bu”
“Semoga Allah
memudahkanmu dalam menuntut ilmu. Ibu dan Ayah hanya dapat mendoakanmu dari
jauh. Tadi ayahmu titip pesan Nak, meskipun dalam kesempitan jalan lupa bershodaqoh.
Ya sudah, ibu tutup dulu teleponnya. Wassalamualaikum..”
“Waalaikumsalam...”
Rasa
rindu kepada orang tua sedikit terobati dengan telepon tadi. Setelah enam bulan
lebih aku dipondok, ini bukan pertama kalinya mereka tidak bisa mengirim uang
yang cukup untukku. Beberapa kali aku harus bersabar karena tidak ada uang
sepeserpun di kantong. Aku pegang sisa-sisa uang yang kupunyai. Agar tak
terlupa, uang untuk shadaqoh segaja aku sisihkan dari dompetku. Ayah
mengajarkanku sejak kecil bahwa ada hak-hak orang lain di dalam uang yang kita
miliki. “Aku lelah sekali! “kataku sembari merebahkan badanku ke dipan dan
berharap agar segera bisa tertidur.
Malampun
berganti, kokok ayam jantan mulai terdengar satu per satu. Suara kicauan burung
pipit juga ikut meramaikan sunyinya subuh pagi ini. Sebelum suara adzan
berkumandang, segera aku selesaikan makan sahurku. “Ya Allah, aku berniat berpuasa daud. Kuatkanlah tubuhku hinga sore
hari. Amin. Saat uang menipis, biasanya aku menjadi sangat rajin untuk
berpuasa. Semoga itu tak mengurangi ensensi puasa” gumamku dalam hati.
Dengan
semangat berjuang untuk mencari Ilmu Agama kulangkahkan kaki menuju gedung
madrasah. Pagi ini sinar matahari nampak cerah. Kulihat ribuan santri
berduyun-duyun menuju kelas. Namun langkahku terhenti ketika tepat berada di
depan papan pengumuman. Dalam pengumuman itu tertera bahwa lusa akan diadakan
seleksi pertukaran pelajar ke Mesir. “Aku harus ikut!” kataku sambil menulis
persyaratan-persyaratan yang harus aku lengkapi. Saat itu pula aku segera
berlari ke kantor untuk meminjam telepon. Aku akan meminta izin dan mohon doa
pada kedua orang tuaku.
***
“Fatih, bagaimana hasilnya?” tanya
Ayah padaku.”
“Aku
lolos. Ayah, aku tidak menyangka akan terpilih”
“Alhamdulillah ya Allah.Selamat ya Fatih. Anakku, yang perlu kamu ingat Nak, kamu
lolos itu karena Allah, bukan karena kepandaian dan kemampuanmu” ujar Ayah
padaku.
“Iya, Fatih mengerti”
“Oh iya Nak, Ibumu seminggu ini tak
henti-hentinya mendoakanmu. Ia selalu bangun untuk shalat tahajud.
“Sampaikan terimaksih
Fatih pada Ibu” kataku pelan sambil berusaha menahan air mata.
“Fatih, mengapa suaramu
terdengar tak bersemangat. Apa ada yang kamu pikirkan nak?” tanya Ayah
kepadaku.
“Ayah, ada biaya
administrasi yang harus dipenuhi. Sepertinya aku tak usah berangkat saja ke
Mesir. Biayanya mahal…”
“Berapa nak?”
“12 juta”
“Berangkat saja! Sudah
nak, kamu ga usah mikirin biaya. Biar Ayah saja yang urus. Karena Allah telah
memberimu kesempatan untuk mencari ilmu di Mesir, tentunya Allah pula yang akan
membiayai dan mencukupi pendidikanmu disana. Yakini itu Nak, janji Allah itu
pasti!” kata Ayah meyakinkanku. Hatiku bergetar tiada henti. Sungguh aku dapat
merasakan kenikmatan dari ucapan Ayahku, ucapannya begitu teduh dan penuh
dengan keyakinan pada Allah.
“Terimakasih Ayah…”
***
Saat ini aku berada
dalam pesawat terbang menuju Mesir. Hatiku sangat bahagia. Aku bahagia karena
orang tuaku memiliki rasa cinta pada
Allah yang begitu besar. Benar kata Ayah. Allah akan mencukupinya. Subhanallah, semua biayaku ke Mesir bukan
berasal dari kantong Ayahku, namun dari beberapa teman Ayah dan ustadz-ustadz di
daerahku yang menginfaqkan hartanya untuk memudahkan orang yang menuntut ilmu
agama. Ternyata, percaya pada Allah itu lebih dari cukup. Percayalah pada Allah maka keajaiban-keajaiban akan terjadi pada kehidupanmu ….”Allahu Akbar…!!”
-------------Bersambung---------------
like
BalasHapusSubhanallah
BalasHapuslike it
BalasHapuslike it
BalasHapusSubhanallah..
BalasHapusSubhanallah..
BalasHapusSubhanallah.....
BalasHapusAku yakin itu...
Subhanallah...
BalasHapusAda lanjutanX kah ini...??